Kunci yang Hilang dalam Aksi Iklim dan Pembiayaan Berkelanjutan di Tingkat Regional

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% (tanpa syarat) dan 41% (bersyarat) pada tahun 2030. Selain itu, Indonesia juga menargetkan pencapaian net zero emissions pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat, melalui berbagai inisiatif di sektor energi, pengelolaan limbah, proses industri, pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan lainnya (UNFCCC, 2022).

Dengan keanekaragaman geografisnya, Indonesia perlu memanfaatkan potensi iklim di setiap wilayah secara spesifik. Upaya untuk mencapai target ambisius ini membutuhkan eksplorasi mekanisme pendanaan yang tersedia bagi pemerintah daerah serta kolaborasi lintas pemangku kepentingan guna memastikan pendanaan yang cukup untuk pembangunan berkelanjutan. Proyek iklim idealnya dirancang untuk menggantikan atau melengkapi infrastruktur rendah emisi yang baru maupun yang sudah ada, sesuai dengan kebutuhan masing-masing wilayah. Sebagai contoh, Pambudi et al. (2023) mengidentifikasi potensi energi terbarukan di berbagai pulau di Indonesia, seperti potensi pembangkit listrik tenaga air di beberapa daerah, serta energi surya atau angin di wilayah lain. Diversifikasi sumber energi ini juga dapat memperkuat ketahanan daerah terhadap dampak perubahan iklim.

Namun demikian, proyek-proyek iklim membutuhkan investasi awal yang besar. Berdasarkan laporan Climate Policy Initiative (2023), kesenjangan investasi untuk memenuhi target NDC Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan mencapai USD 146 miliar. Karena sektor keuangan dan anggaran iklim pemerintah tidak cukup untuk menutup kesenjangan ini, diperlukan inovasi dalam memanfaatkan instrumen pembiayaan berkelanjutan. Darwin Djajawinata, mantan Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur, menjelaskan dalam sebuah lokakarya yang difasilitasi oleh Tri Hita dan didukung oleh GGGI di Nusa Tenggara Barat (Oktober 2024), bahwa beberapa opsi pembiayaan berkelanjutan dapat diterapkan di tingkat regional untuk mendukung pembangunan infrastruktur hijau, antara lain:

  • Kemitraan Bisnis (Business to Business/B2B)

Proyek dijalankan secara komersial melalui skema perizinan atau kerja sama B2B yang melibatkan mekanisme seperti pembayaran tarif, bagi hasil, atau konsesi.

  • Kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership/PPP)

Kolaborasi antara pemerintah dan pihak swasta ini mencakup pembagian risiko dan dukungan pemerintah. Skema ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 38/2015 dan Peraturan Menteri PPN No. 4/2015, yang meliputi alokasi risiko proyek dan pemberian jaminan.

  • Pinjaman Daerah

Pembiayaan belanja modal yang berasal dari pinjaman pemerintah maupun lembaga keuangan perbankan atau non-perbankan, yang diarahkan untuk proyek infrastruktur prioritas di bawah kewenangan pemerintah daerah.

  • Pendanaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Penyediaan modal untuk BUMD bertujuan untuk menjembatani kebutuhan pembangunan dan aspek komersial, sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan tanpa mengabaikan kelayakan ekonomi.

  • Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Belanja modal dari APBD, termasuk dukungan tambahan dari Pinjaman Luar Negeri (PHLN) atau obligasi daerah, menjadi salah satu cara konvensional dalam membiayai proyek. Strategi ini tetap relevan karena selaras dengan praktik pembiayaan berkelanjutan yang mengutamakan keberagaman dan keberlanjutan dana bagi proyek pembangunan daerah.

Tantangan yang Menghadang

Salah satu tantangan utama adalah menjembatani kesenjangan pengetahuan antara pemangku kepentingan dan investor, dengan fokus meningkatkan pemahaman mengenai instrumen pembiayaan berkelanjutan yang secara efektif mendukung proyek hijau. Selain itu, inkonsistensi kebijakan pemerintah menjadi hambatan dalam pengembangan proyek hijau, ditambah dengan minimnya insentif untuk mendorong implementasi (The Green Fiscal Policy Network, 2023). Proyek hijau juga menghadapi berbagai risiko di tahap perencanaan, konstruksi, hingga operasional. Oleh karena itu, mekanisme asuransi sangat dibutuhkan untuk mengelola risiko tersebut (AON, 2023). Sayangnya, pilihan asuransi untuk proyek hijau masih sangat terbatas (Marwany, 2023). Sebagai langkah konkret, ada beberapa pendekatan yang dapat diambil, yaitu:

  • Downstream Stakeholders

Melakukan diseminasi pengetahuan tentang pembiayaan berkelanjutan dan instrumennya, mencari referensi praktik terbaik dari luar negeri, serta terus melakukan evaluasi untuk menutup kesenjangan dalam implementasi di Indonesia (The Green Fiscal Policy Network, 2023).

  • Upstream Stakeholders

Selain upaya di atas, pemerintah pusat perlu memberikan insentif, baik berupa kebijakan yang mendukung maupun manfaat nyata bagi pelaku proyek hijau. Langkah ini penting untuk mempercepat pengembangan proyek hijau, mengingat urgensi menghadapi risiko dan krisis iklim (Friday et al., 2022).

Untuk mencapai target net zero emissions, setiap daerah harus mengambil peran aktif dalam mengembangkan dan melaksanakan proyek hijau yang tidak hanya mengatasi tantangan lokal, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam mitigasi perubahan iklim. Wadah kolaborasi, seperti lokakarya yang dilaksanakan di NTB, menjadi langkah strategis untuk membekali pemerintah daerah dengan pengetahuan dan akses terhadap mekanisme pembiayaan yang inovatif. Melalui diskusi dan kerja sama seperti ini, Indonesia dapat mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Tri Hita tetap berkomitmen mendukung upaya ini dengan memberdayakan setiap wilayah untuk memaksimalkan potensi mereka dalam menghadapi krisis iklim.

Referensi

  1. AON. 2023. Insurance Plays a Key Role in Transitioning to a Low Carbon Future. AON Blog: https://www.aon.com/en/insights/articles/insurance-plays-a-key-role-in-transitioning-to-a-low-carbon-future  (Diakses pada 29 November 2024)
  2. Climate Policy Initiative. 2023. Landscape of Climate-Aligned Investment in Indonesia’s  Financial Sector.
  3. Friday, C., Mills, M., McQueen, J. 2022. Six Ways that Governments Can Drive The Green Transition. EY Global: https://www.ey.com/en_gl/insights/government-public-sector/six-ways-that-governments-can-drive-the-green-transition  (Diakses pada 29 November 2024)
  4. Marwany, H. 2023. Green Insurance a Promising New Climate Opportunity. The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/paper/2023/07/07/green-insurance-a-promising-new-climate-opportunity.html  (Diakses pada 29 November 2024)
  5. Pambudi, N. A., Firdaus, R. A., Rizkiana, R., Ulfa, D. K., Salsabila, M. S., Suharno, & Sukatiman. 2023. Renewable energy in Indonesia: current status, potential, and future development. Sustainability, 15(3), 2342. DOI: doi.org/10.3390/su15032342 
  6. The Green Fiscal Policy Network. 2023. Accelerating Green and Sustainable Finance in Indonesia. Green Fiscal Policy Blog: https://greenfiscalpolicy.org/blog/accelerating-green-and-sustainable-finance-in-indonesia/ (Diakses pada 29 November 2024)
  7. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 2022. Enhanced Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

You might also like